Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan
mengalami perubahan baik emosi,
tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah. Oleh karenanya seperti diungkapkan oleh tim pelaksana kesehatan jiwa masyarakat, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah
psikososial, yakni masalah psikis atau
kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya
perubahan sosial.
Di masa modern ini, remaja merokok merupakan suatu pemandangan yang tidak asing. Remaja
merokok tanpa tahu bahaya dan efek jangka panjang yang akan mengancam fisik dan
kejiwaan mereka. Di sejumlah tempat seperti warung nasi,
terminal atau tempat-tempat nongkrong, sering dijumpai sekumpulan siswa
berseragam putih biru (SLTP) atau putih abu-abu (SLTA) bersenda gurau sambil
berlomba "mengepulkan asap". Beberapa motivasi yang melatarbelakangi seseorang merokok adalah untuk
mendapat pengakuan (anticipatory beliefs),
untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs), dan menganggap perbuatannya
tersebut tidak melanggar norma (
permissive beliefs / fasilitative). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan didepan orang
lain, terutama dilakukan di depan
kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok sebayanya atau dengan
kata lain terikat dengan kelompoknya.
apakah seperti ini kereeenn..????
Di
seluruh dunia Rokok telah menjadi masalah global yang amat serius, di
negara-negara tertentu rokok bahkan disamakan dengan obat-obatan narkotika. Tembakau telah membunuh 100 juta jiwa pada abad ke-20 dan
diperkirakan akan membunuh 1 miliar orang pada abad ini. Di Indonesia sendiri,
tembakau membunuh 427.948 jiwa pada tahun 2001 atau sebanyak 1.172 jiwa setiap
harinya. Dari segi jumlah perokok, Indonesia merupakan negara terbesar ke-3
di dunia setelah China dan India. Global Youth Tobacco Survey
(GYTS) Indonesia tahun 2006 melaporkan lebih dari 37,3 % pelajar (usia 13-15
tahun) mempunyai kebiasaan merokok. Indonesia konsumsi rokok dari tahun ke tahun terus meningkat pesat melebihi
laju pertambahan penduduk. Survei Sosial Ekonomi
Nasional Badan Pusat Statistik tahun 2005 menunjukkan, prevalensi perokok remaja
usia 15-19 tahun mengalami lonjakan sebanyak 144 persen selama tahun 1995
hingga 2004. Dari 13,7 persen pada tahun 1995 menjadi 32,8 persen pada tahun
2004. Survei ini juga menunjukkan perokok yang mulai merokok pada usia 5-9
tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat, dari 0,4 persen pada tahun 2001
menjadi 1,8 persen pada tahun 2004. Berdasar data Global Youth Tobacco Survey
2006 yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia terbukti jika 24,5 persen
anak laki-laki dan 2,3 persen anak perempuan berusia 13-15 tahun di Indonesia
adalah perokok, dimana 3,2 persen darti jumlah tersebut telah berada dalam
kondisi ketagihan atau kecanduan.
Menurut data RISKESDAS Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2010 menunjukkan bahwa, penduduk Indonesia dengan usia
> 15 tahun 5.4% adalah mantan perokok dan 34.7% adalah perokok aktif dengan persentase
merokok setiap hari bagi penduduk umur di atas 10 tahun secara nasional 23,7%. Di
Jawa timur sendiri 4,4% mantan perokok dan 31.4% adalah perokok aktif. Dari
jumlah di atas, rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari adalah
53.2% sebanyak 1-10 batang, 38.9% sebanyak 11-20 batang, 6.5% sebanyak 21-30
batang dan 1.4% merokok sebanyak lebih dari 31 batang perhari.
Faktor
dari dalam remaja dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja. Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erikson
berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa
perkembangannya, yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati dirinya. Dalam
masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai masa badai dan topan karena
ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial. Beberapa remaja
melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris dan simbolisasi, simbol
dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik kepada lawan jenis. Beberapa
hal di atas diyakini telah memberi beban yang berat pada mental dan psikologis
remaja sehingga merokok dijadikan sebagai koping stress alternatif. Aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya
kompensatoris dari kecemasan yang dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi
aktivitas yang dapat memberikan kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk
mewujudkan
simbolisasi kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005). Kompensasi dari
ketidakmampuan menyelesaikan masalah tersebut dialihkan dengan melakukan
aktifitas yang mereka anggap dapat mengurangi ketegangan yang terjadi. Merokok
menjadi pilihan karena efek relaksasi yang mereka dapatkan dari rokok, yang
pada akhirnya berdampak pada kepuasan psikologis remaja(A.F Muchtar 2005).
Fakta bahwa rokok mengadung bahan kimia berbahaya semisal nikotin yang notabene
bersifat racun bagi
saraf, namun mempunyai efek dapat membuat seseorang menjadi rileks dan tenang
secara pasti menyebabkan efek ketagihan bagi perokok. Kadar nikotin 4-6 mg yang
diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang kecanduan,
apa lagi pada perokok remaja. Di Amerika Serikat, rokok putih yang beredar di
pasaran memiliki kadar 8-10 mg nikotin per batang, sementara di Indonesia
berkadar nikotin 17 mg per batang.
Remaja
cenderung memiliki kepekaan yang berlebihan
ditambah dengan berkurangnya
pengendalian terhadap ego membutuhkan
bimbingan yang komprehensif dari orang-orang terdekat, baik itu dari pihak
keluarga dan sekolah sehingga dapat mengurangi ataupun menghilangkan kebiasaan
merokok pada remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar